Akhir-akhir ini aku sebal kalau dengar atau baca kata "secara".
"Secara" bisa dipakai sebagai pengganti "since" (Bahasa Inggris) atau "karena" atau "sebab". Dalam bahasa Jerman artinya "wegen" atau "weil" atau "denn". Makna "secara" di sini adalah makna kausalitas.
Lalu timbul pula arti kata "secara" yang artinya "otherwise" (Bahasa Inggris) atau "selain". Hal ini menggunakan kata "secara itu". Dalam bahasa Jerman artinya "trotzdem", "ausserdem", atau "trotz". Makna "secara" di sini adalah makna pertentangan.
Percayalah bahwa dalam bahasa Jerman dan Inggris, kata yang sama tidak bisa dipakai sekaligus untuk kausalitas dan kalimat pertentangan.
Bisa gila, aku!
Aku cuma meninggalkan Indonesia sebentar, belum 2 tahun, sudah ada perubahan penggunaan kata "secara".
Dalam bahasa Indonesia baku, setahuku, kata "secara" punya makna beberapa macam:
- "satu cara" = 1 cara
- "dengan cara"
- "sama cara"
cara di sini artinya bisa "method" atau "way" (Bahasa Inggris).
Mungkin dalam bahasa gaul, ada kata baru yang namanya "secara" yang bukan berasal dari kata "cara", yang penggunaannya bisa dipakai untuk sapu jagad di semua kalimat, yang penting dipasang di awal kalimat supaya kelihatan modern dan gaul.
Paling kasihan dengan orang bule yang belajar Bahasa Indonesia. Di ruang kelas, mereka bersusahpayah belajar Bahasa Indonesia baku: belajar imbuhan standar, pasif-aktif, transitif-intransitif, dll, dengan buku diktat seadanya. Tapi sampai Indonesia, mereka melongo, mendengar orang bicara bahasa gaul Indo yang tak mereka mengerti. Akhirnya orang-orang bule tersebut lebih mahir berbahasa Jawa, dari Jawa Ngoko hingga Kromo Hinggil, daripada Bahasa Indonesia.
Kebetulan di Uni Bremen, Jerman, kulihat diktat tipis Pelajaran Bahasa Indonesia untuk orang asing. Tidak ada buku pelajaran Bahasa Indonesia. Kalau melihat rak-rak buku lainnya, ada berbagai buku pelajaran bahasa asing lainnya: Inggris, Perancis, Spanyol, Cina, Arab, Polandia, dll. Sepertinya orang-orang dari negeri itu, lebih rapi, apik, dan profesional dalam menyebarkan budayanya. Mereka sepertinya sadar bahwa bahasa adalah salah satu kekuatan besar budayanya.
Pemerintah, universitas, pers, dan pasar nampaknya selalu kompak dalam berbahasa baku di negara-negara pengguna bahasa Jerman, Inggris, Perancis, Spanyol, Cina, Arab, dll. Di Jerman ada standar Hochdeutsch yang dipakai institusi pemerintahan, surat kontrak (pasar), universitas, sekolah, koran, dll. Di Indonesia, bahasa baku cuma ada di perpustakaan universitas dan sekolah. Maksudnya, cuma ada di buku Kamus Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Indonesia, Kaidah Bahasa Indonesia, Ejaan Yang Disempurnakan, dan beberapa buku mirip. Tapi guru bahasa Indonesia bisa beda-beda dalam mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Selain itu, media juga berbeda-beda dalam berbahasa Indonesia. Pasar dengan iklan-iklannya juga menunjukkan bahasa-bahasa Indonesia tidak baku. Surat-menyurat resmi bisa juga kacau balau dalam berbahasa, sampai orang tidak tahu mana yang baku.
Bahasa Indonesia memang bahasa kaum anarkis. Tidak ada pedoman tunggal yang dipakai bersama. Semua orang (baca pengguna bahasa) bisa memodifikasi bahasa seenaknya. Yang penting didukung rame-rame (beramai-ramai). Kekuasaan berada di tangan pengguna, bukan akademisi, bukan ahli bahasa yang dulu pernah berkumpul membentuk Ejaan Yang Disempurnakan, juga bukan Pemerintah. Nampaknya anomi dalam berbahasa Indonesia juga klop dengan anomi dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.