Di suatu negeri, di tahun 2012, seorang penguasa beserta kroninya butuh dana untuk Pemilu yang akan diadakan dua tahun kemudian. Mereka pun memutar otak. Terbersitlah ide, yaitu dengan mengganti kurikulum pendidikan.
Anggaran pendidikan kan 20% dari total anggaran. Dananya kencang. Kalau ganti kurikulum, akan ada buku baru, pelatihan guru, uji coba ini-itu. Dari dana pengadaan buku, biaya percetakan bisa agak digelembungkan. Dari pelatihan guru, dana yang bisa digelembungkan adalah biaya perjalanan, studi-banding, dan fotokopi.
Supaya terkesan mengakomodasi kepentingan masyarakat, dibuatlah website "Uji Publik Pengembangan Kurikulum 2013". Seluruh rakyat yang peduli pendidikan dipersilahkan menuliskan pesan, kesan, komentar, ide, dan apapun di website tersebut. Apakah suara rakyat tersebut didengarkan, tidak terlalu dipedulikan.
Supaya kepentingan pencarian dana Pemilu 2014 sukses, rakyat harus dipecah-belah dengan isu. Kebetulan isu paling asyik untuk ini adalah agama. Kurikulum 2013 pun diberi muatan agama ekstra. Muatan ini pun sengaja dibuat dengan mengganggu pelajaran lainnya, seperti sains.
Alasan tambahan muatan agama adalah indah-indah: untuk mencegah tawuran pelajar, supaya masyarakat semakin bermoral, dll. Isu agama ini cukup berhasil memecah rakyat dan mengaburkan masalah sesungguhnya, yaitu penguasa sedang memanfaatkan pergantian kurikulum untuk dana politik.
Penguasa tersebut tidak peduli anak-anak bangsa yang harus mengalami kurikulum pendidikan tersebut. Ia juga tidak peduli bagaimana masa depan mereka dalam menghadapi tantangan dunia yang selalu bergerak. Penguasa tak peduli kalau ulahnya memecah-belah rakyat dengan isu agama itu menghancurkan pilar kehidupan bangsa. Penguasa hanya peduli bahwa Pemilu sebentar lagi dan ingin menghisap dana sebanyak-banyaknya.
***
Semoga kisah ini hanyalah fiksi...
Bremen, 18 Februari 2013