Pages

Monday, December 5, 2016

Harga Diri

Suatu hari di kantin mahasiswa di Universitas Bremen, aku mengobrol dengan mahasiswi jurusan Sosiologi. Ia sedang membuat tugas tentang "harga diri" (wiki: en.de), yang dalam bahasa lain biasa disebut "Würde" (Jerman), "Dignity" (Inggris), "Dignitas" (Latin), atau "Marwah" (Arab). Ia harus mengetik makalah 8 halaman tentang harga diri dan juga membahas dengan rekan-rekan kuliahnya. Sedangkan aku hanya lagi makan bareng dengannya.

***

Suatu hal yang menarik dari harga diri adalah ia tidak kelihatan tapi ada. Harga diri adalah suatu bagian dari jati diri manusia, baik sebagai suatu pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Harga diri manusia terikat dengan identitas manusia tersebut: dari mana ia berasal, apa agama yang dipilihnya, bagaimana bentuk tubuhnya secara biologis, apa suku, bangsa, dan kewarganegaraannya, apa orientasi seksualnya, dan bagaimana status pernikahannya.

Walau tidak kelihatan, harga diri seorang individu kalau dikumpulkan bisa menjadi harga diri suku, harga diri kampung, hingga harga diri bangsa. Termasuk juga harga diri suatu umat beragama.

Harga diri suatu bangsa yang membuat manusia rela berkumpul, berjuang bersama membentuk suatu bangsa dan juga negara. Namun harga diri bangsa juga bisa memecah suatu negara supaya bangsa tersebut bisa berpisah demi membuat negara lain yang baru.

Berbeda dengan tubuh fisik, yang terluka ketika mendapat kekerasan fisik, seperti dianiaya, harga diri tidak butuh kekerasan fisik untuk terluka. Hanya butuh kata-kata atau mungkin hanya gambar tanpa kata-kata, untuk membuat harga diri terluka. Sekali lagi kutekankan, harga diri itu ada, walau tiada bentuk yang terlihat atau bisa dipegang.

Harga diri yang terluka bisa membuat orang berkumpul dan melakukan protes ketika ada tokoh politik yang membuat komentar tidak menyenangkan tentang agama. Berkumpul bersama dan menunjukkan sikap atau pendapat di khalayak umum untuk memperjuangkan harga diri dan berkata lantang bahwa harga diri kami terluka oleh kata-kata atau tindakan seorang pemimpin adalah hak yang diakui oleh undang-undang banyak negara dan juga oleh berbagai perjanjian internasional dan deklarasi universal hak asasi manusia.

***

Sebagai seorang pemimpin hendaklah seseorang menjaga kata-katanya untuk tidak melukai harga diri manusia. Sebagai seorang netizen hendaklah seseorang tidak mengedit kata, gambar, dan video untuk provokasi sehingga makin banyak harga diri yang terluka. Sebagai seorang yang harga dirinya terluka, hendaklah protes secara strategis dan tidak melakukan hal-hal bodoh yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, serta malah melukai harga diri orang lain. Sebagai seorang yang tidak ikut protes karena merasa harga dirinya baik-baik saja, juga hendaknya tidak mencemooh mereka yang sedang berduka dan berkabung karena harga diri terluka.

Setiap orang harus menemukan dirinya sendiri yang merupakan bagian dari sesamanya. Semoga di sana, ia menemukan bahwa harga dirinya adalah harga diri sesamanya. Menjaga dan menghormati harga diri sesama manusia akan pula menjaga dan menghormati harga diri sendiri.


Bremen, 5 Desember 2016

iscab.saptocondro

Saturday, December 27, 2014

Selamat Natal 2014

Selamat Natal 2014 - Don't Shoot!

Hari ini Natal Hari kedua dan aku lupa lagu "Twelve Days of Christmas". Pada lagu tersebut, ada penjelasan 12 hari Natal itu apa saja, dari tanggal 25 Desember hingga 5 Januari. Bulan Desember ini, aku merasakan jadi panitia Natal Perki Bremen, seperti yang telah kuceritakan pada Catatan Berdarah Mahasiswa Doktoral, 10 Desember 2014. Natal Perki Bremen diadakan pada bulan purnama, saat Sabtu 6 Desember 2014. Bagai pungguk yang merindukan bulan, purnama selalu punya nuansa mistis romantis. Walau aku tak merenungkan apa beda purnama di Jakarta dan New York, namun aku bertanya-tanya apa beda purnama di Bandung dan Bremen. Pertanyaan ini tidak kusimpan dalam hati, melainkan kutanyakan pada mantanku di Bandung.



Selain acara Natal Oikoumene bersama Perki Bremen, aku juga merasakan Weihnachtsfeier atau lebih tepatnya Weihnachtsessen (Makan-makan Natal) di Oldenburg. Acara Weihnachtsessen pertama adalah Rabu 3 Desember 2014, bersama mahasiswa-mahasiswi doktoral. Aku sudah lama tidak gabung acara bareng PhD student di Oldenburg dan tidak kenal pendamping baru acara kumpul-kumpul PhD. Jadi aku ikuti acara Natal ini. Aku menikmati acara makan-makan gratis ini. Setelah acara ini, terbentuklah grup Whatsapp PhD.

Acara Weihnachtsessen kedua adalah Jumat 12 Desember 2014, bersama rekan kantor Jade HS Oldenburg. Seperti biasa, kami berjalan ke pasar Natal yang bernama Lamberti-Markt Oldenburg. Kami minum Glühwein dan kemudian pergi makan-makan ke restoran. Kali ini, restorannya bertema Bavaria (Bayerisch). Aku pun terkenang masa-masa tinggal di Nürnberg, Bayern, dulu. Berhubung minuman pertama itu gratis untukku (karena dibayari oleh kantor) dan aku tidak mau rugi, aku pun membeli 1 Maß bir Bavaria (1 Maß = 1 liter). Aku pun menikmati makanan all-you-can-eat dari buffet. Seperti pepatah Jawa, "mangan ora mangan sing penting ngumpul", orang Jerman punya filosofi "Gemütlichkeit". Aku kekenyangan dan sepertinya bakal muntah karena over-eating dan over-drinking. Tapi jalan kaki dari restoran ke stasiun meredakan rasa ini.

Akhirnya, pada malam Natal, aku mengikuti misa Heiliger Abend di gereja St. Johann, Bremen. Langit cerah tidak gerimis maupun badai. Angin dingin pun mengalun gemulai bagaikan ksatria berpedang yang kadang menusuk tubuh dan kadang mengiris leher. Dalam gereja begitu hangat, karena sesak oleh pengunjung. Gereja St. Johann berada di pusat kota, jadi sepertinya turis pun akan masuk ke gereja ini kalau ingin merayakan misa Katolik.

Entah kenapa, Natal tahun ini, aku merasa kesepian. Apakah ini karena dinginnya udara? Apakah ini karena aku sudah tak tahu apa peranku dalam kehidupan sosial di Bremen. Kawan-kawan mainku di Bremen dulu telah berpindah kota atau negara. Yang masih ada di Bremen, sedang menikmati kehangatan bersama keluarga masing-masing. Aku merenungkan bahwa semenjak lulus master dan merasakan kerja di Jerman, aku mengalami peningkatan kemampuan bahasa pemrograman namun mengalami penurunan kemampuan bahasa manusia. Aku sudah tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Aku merasakan ada bagian diriku yang tercuri oleh kejamnya sistem kapitalisme dalam industri Jerman.

Seperti Natal 2013, pada Natal 2014 ini, aku datang tidak diundang pada acara bersama muda-mudi Katolik di Bremen, yang kutemui usai misa di St. Johann. Alasannya adalah aku lagi tidak mau kesepian dan entah kenapa masa-masa ini aku lagi tertarik dengan berita bunuh diri dan tulisan tentang cara-cara bunuh diri. Jadi aku mengambil resiko datang ke acara yang aku tak diundang. Aku membawa sekantong jeruk supaya tanganku tidak hampa. Untung, aku diizinkan masuk. Aku mendengarkan obrolan kawan-kawan. Rasa kesepianku lumayan terobati.

Aku juga merenungkan bahwa banyak hal dari diriku yang harus kuperbaiki tahun 2015, supaya aku bisa bergaul bareng kawan-kawan yang muda-mudi ini. Berat juga harus bergaul bersama orang yang umurnya lebih muda 10 tahun dariku. Namun kaum muda seperti inilah yang memberiku lingkaran penting bagi dunia perjodohanku. Wanita seumuranku sih sudah berkeluarga dan untuk menjadi jodohku, dia harus jadi janda dulu atau kurebut dari suami orang dulu.

***

Kotbah pada Misa Malam Natal 2014 di St. Johann berisi "Don't Shoot". Kata-kata ini diambil dari "Christmas Truce" atau "Weihnachtsfrieden", 100 tahun lalu, ketika Perang Dunia I (wiki: en,de,id). Ketika itu, pada Malam Natal 1914, tentara Inggris dan Jerman di Front Barat melakukan gencatan senjata. Mereka pun bertukar suvenir dan makanan. Saat itulah, Damai Natal menjadi begitu bermakna bagi orang Eropa.

Sementara itu, di Amerika Serikat, di bulan Desember, ada beberapa demonstrasi bertema "Hands Up! Don't Shoot!" (fb, wiki: en). Demo ini dilakukan untuk memperingati kasus penembakan oleh polisi, yang memakan korban pemuda kulit hitam tak bersenjata. Di Ferguson, Missouri, Amerika Serikat, seorang polisi kulit putih bernama Darren Wilson berkali-kali menembaki seorang pemuda kulit hitam yang tak bersenjata bernama Michael Brown (wiki: en,de). Kemudian terjadilah demonstrasi besar-besaran di Ferguson pada bulan Agustus 2014 (wiki: en). Sebagian demonstrasi damai dan sebagian lain tidak. Kritik media Amerika Serikat terdapat pada militerisasi polisi. Polisi menggunakan gas air mata dan menggunakan sniper yang diarahkan kepada demonstran dan wartawan. Pada akhir bulan November, polisi yang menembak dinyatakan tidak bersalah oleh juri. Hal ini menimbulkan demonstrasi di lebih dari 100 kota di Amerika Serikat dengan tema "Hands Up! Don't Shoot!". Di New York, sebagian demonstran ingin memadamkan lampu pohon Natal di Rockefeller Center.

Jadi apa beda pohon Natal di Jakarta dan New York?

Tidak ada perdamaian tanpa keadilan, kata banyak orang dari zaman dahulu hingga kini. Gereja Katolik Roma pun memberikan pesan perdamaiannya tentang hubungan antara perdamaian dan keadilan, dengan Pesan Paus Yohanes Paulus II tanggal 1 Januari 2002 pada perayaan World Day of Peace "No peace without justice. No justice without forgiveness." dan dengan "Gaudium et Spes" hasil Konsili Vatikan II, tahun 1965. Jadi damai Natal menjadi relevan ketika seseorang turut proaktif dalam perjuangan manusia untuk mencari keadilan.

Aku pun teringat bahwa segenap perjuangan politik yang kulakukan secara sederhana di tahun 2014 ini berdasarkan solidaritasku untuk mereka yang mencari keadilan ketika hak asasi mereka sebagai manusia terinjak-injak di tahun 1965, 1998, dll, bahkan tahun ini di Papua. Walau perjuangan ini tak sempurna di tahun ini, aku yakin bahwa perjuangan melawan angkara murka akan menemukan caranya sendiri untuk bertahan.

Semoga damai Natal beserta kita!
Teruskan perjuangan melawan ketidakadilan!
Darah Juang!

***

Tulisan Natal yang lalu


Menghitung berapa Natal yang kulalui di Jerman.

***

Wilujeung Natal!
Sugeng Natal!
Rahajeng Natal!

Frohe Weihnachten!
Merry Christmas!
Eid Milad Majid!


Bremen, 26 Desember 2014

iscab.saptocondro

Tuesday, April 22, 2014

Belajar mengerti survei politik

Aku sedang belajar mengerti survei politik. Sekarang ada banyak lembaga survei politik di Indonesia. Yang tercatat di KPU berjumlah 56 lembaga. Mereka menyelenggarakan survei untuk kepentingan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilihan gubernur serta pemilihan walikota atau bupati. Sebagian survei mendapat dana dari universitas, media pers, dunia internasional, dll yang relatif netral dalam politik. Sedangkan sebagian lain mendapat dana dari partai politik atau dari tim sukses calon yang akan dipilih.



Selain mengadakan survei menjelang Pemilu, lembaga-lembaga tersebut juga melakukan "exit polls" dan "quick count". Tujuannya adalah memperkirakan persentase suara pemilih. Sayang sekali, metode hitung cepat yang dipakai belum bagus memperkirakan jumlah kursi yang akan didapat dalam parlemen.

Alasanku belajar mengerti survei politik adalah untuk mengetahui hal-hal ilmiah seputar kegiatan ini:
  • Bagaimana penggunaan kaidah statistika digunakan?
  • Bagaimana cara pengambilan sampel?
  • Apa yang terjadi jika data asimetris?
  • Masih layakkah asumsi distribusi normal atau Gaussian dipakai?
  • Mengapa metode yang ada mampu memperkirakan suara pemilih tapi belum bisa memperkirakan jumlah kursi di parlemen?
  • Mungkinkah ada algoritma lain yang bisa dipakai untuk memperkirakan proporsi suara dan jumlah kursi, walau data asimetris? Terutama menggunakan pengetahuan mengenai sistem dinamika dan aljabar linear, yang lebih sesuai dengan bidangku sebagai Control Engineer.

Sebelumnya, aku sudah menulis tentang bagaimana cara pengambilan sampel pada survei politik, jika menggunakan kaidah statistik. Tulisan tersebut ada pada blogku yang lain: "Pemilu Indonesia: Survei, Quick Count dan Exit Polls". Pada tulisanku terdapat sedikit informasi mengenai cara pengambilan sampel menggunakan metode acak berjenjang/bertingkat (stratified random sampling), akan tetapi tidak ada contoh. Kali ini, aku akan menunjukkan beberapa slide presentasi dari 4 lembaga survei yang berisi contoh-contoh tersebut.

***

Survei Nasional Saiful Mujani Research & Consulting
(26-29 Maret 2014)

slide



Penggunaan stratified random sampling dapat dilihat pada halaman 3-9 slide di atas.

***

Survei Nasional CSIS
(7-17 Maret 2014)

slide



Penggunaan metode acak bertingkat dapat dilihat pada halaman 2 slide di atas.

Yang menarik dari kesimpulan CSIS adalah kejujurannya dengan mengatakan bahwa banyak pemilih yang masih ragu-ragu, sehingga pilihannya bisa berubah. Ada pula pemilih yang belum punya pilihan. Ini sesuai hasil survei mereka pada halaman 5-7 slide di atas.

Lembaga survei lain terlalu berani menyimpulkan kalau partai yang satu akan menang telak dan bisa mencalonkan Presiden tanpa koalisi sedangkan ada partai lain akan tidak lolos ambang batas 3,5%. Padahal hasil survei jelas menunjukkan ada persentase tinggi untuk yang belum memiliki pilihan.

Ini menunjukkan kualitas penelitian CSIS dengan kualitas penelitian lembaga lain.

***

Jajak pendapat dari Focus Survei Indonesia
(3-21 Januari 2014)

slide



Penggunaan metode acak berjenjang (multistage random sampling) dapat dilihat pada halaman 5-9 slide di atas.

***

Survei Vox Populi
(9-23 Desember 2013)

slide



Penggunaan metode acak berjenjang (multistage random sampling) dapat dilihat pada halaman 3-6 di atas.

***

Begitulah contoh-contoh penggunaaan metode acak berjenjang/bertingkat yang biasa disebut "multistage random sampling" atau "stratified random sampling". Dengan metode ini, perkiraan suara mengikuti asumsi distribusi populasi penduduk yang tersebar secara geografis dan gender.


Bremen, 21 April 2014

iscab.saptocondro

Monday, March 17, 2014

Antara Vaksinasi dan Tubuh adalah Bait Allah menurut Paulus

Bulan ini, aku membaca beberapa tulisan dari Nature Outlook tentang vaksin. Di sana terdapat kesulitan dalam penelitian, pembuatan dan pendistribusian vaksin. Tahun lalu, baru ada vaksin malaria, yang berguna bagi Afrika, dan mungkin juga Indonesia. Aku tidak tahu bagaimana penelitian vaksin malaria di Indonesia, yang jelas Kalimantan dan Papua memiliki malaria yang ganas.

Vaksin adalah bahan antigen yang digunakan untuk menimbulkan kekebalan aktif pada manusia. Antigen ini biasanya berasal dari bibit penyakit. Vaksin bisa berupa bakteri atau virus yang dilemahkan atau dimatikan. Dia juga bisa sebagian dari bibit penyakit tersebut: surface protein (protein permukaan), toksin, peptida, recombinant vector, DNA, RNA, dll. (wiki: en,de,id). Penelitian vaksin selalu berkembang seiring dengan perjuangan manusia melawan penyakit.

Dalam pendistribusian vaksin, banyak daerah di Asia dan Afrika yang berbukit dan bergunung tanpa jalan raya dan listrik. Akibatnya vaksin sulit mencapai tempat tujuan dalam keadaan yang cukup dingin tapi tidak beku dan tidak rusak kena panas.

Selain masalah geografis, vaksinasi juga tidak dipercaya oleh sebagian orang. Hoax dari internet bahwa vaksin dapat menyebabkan autisme masih tersebar di milis, blog dan facebook. Padahal berdasarkan pemantauan WHO dan penelitian terkini, tidak ditemukan hubungan antara vaksin dan autisme. Selain itu, alasan religius juga membuat vaksin ditolak.

Alasan penolakan utama vaksinasi di kalangan umat Kristen, termasuk juga Katolik, adalah surat Paulus kepada umat Korintus, yaitu 1 Kor 3:16-17. Isinya sebagai berikut.

  • Dalam bahasa Indonesia, "Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bai Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu" (Alkitab Terjemahan Baru, Lembaga Alkitab Indonesia)
  •  Dalam bahasa Inggris, "Do you not see that you are God's holy house, and that the Spirit of God has his place in you? If anyone makes the house of God unclean, God will put an end to him; for the house of God is holy, and you are his house." (Bible in Basic English)
  • Dalam bahasa Jerman, "Wisset Ihr nicht, dass ihr Gottes Tempel seid und der Geist Gottest in euch wohnt? So jemand den Tempel Gottes verderbt, den wird Gott verderben; denn der Tempel Gottes ist heilig, der seid ihr." (Lutherbibel 1912)

Secara pribadi, aku masih tak mengerti bagaimana caranya ayat ini diinterpretasi menjadi "Jangan menerima vaksinasi". Memang vaksin adalah suatu zat yang berasal dari bibit penyakit. Namun obat-obatan seperti antibiotik, juga berasal dari ragi atau jamur yang beracun. Obat batuk menggunakan alkohol dan bisa memabukkan serta merusak "Bait Allah". Obat flu juga dapat membuat orang mengantuk, yang bisa menghilangkan kesadaran sehingga tertidur. Hal-hal yang membuat tak sadar sebetulnya bisa juga merusak Bait Allah. Pada ilmu farmasi, obat dilambangkan dengan ular. Semua obat, pada dasarnya adalah racun, terutama jika diberikan dengan dosis dan cara yang tidak tepat.

Sebagai seorang Katolik yang mengalami pendidikan 14 tahun di sekolah Katolik, aku tidak menemukan pertentangan antara vaksinasi dengan ayat 1 Kor 3:16-17. Bahkan aku mendapat vaksinasi dari sekolah. Selain itu, aku juga mendapat vaksinasi hepatitis B dari rumah sakit Katolik di Bandung. Agama Katolik yang kuanut tidak menggambarkan penolakan terhadap vaksinasi.

Beberapa kawan yang Kristen fundamentalis yang kukenal juga membiarkan diri mereka dan keluarga mereka divaksinasi. Definisi mengenai Kristen fundamentalis memang agak kabur, tapi kira-kira beginilah cirinya

  • Percaya tahayul, bahwa roh-roh jahat tersebar di Jerman menyebabkan Perang Dunia I dan II beserta tragedi kemanusiaannya. Lalu roh jahat ini membuat orang Eropa menjadi menjauhi Tuhan.
  • Kalau berdoa, harus komat-kamit tidak jelas dan teriak-teriak. Lalu menggelepar-gelepar di tanah.
  • Percaya tahayul teologi sukses (prosperity gospel), yang mengatakan bahwa harus memberikan persepuluhan ke gereja, jika tidak ingin tertimpa sial. Kalau memberikan sepuluh persen penghasilan, maka rezeki akan datang tiba-tiba berkali-lipat.
  • Percaya bahwa Tuhan adalah "tukang sulap" dan "tukang obat" yang bisa langsung menyembuhkan penyakit, dalam bentuk "faith healing".
  • Kuliah biologi tapi mengutuk teori evolusi, lalu marah-marah kalau dapat IPK jelek atau ketika lulus sulit mendapat kerja di bidang sains.
  • Kuliah fisika, matematika atau teknik, tapi mengutuk teori probabilitas karena di dunia tidak ada yang acak/random melainkan semua terjadi akibat takdir atau kehendak Tuhan. Kemudian mereka kesal karena harus mengulang ujian probabilitas dan statistika atau ujian pengolahan sinyal atau ujian teori sistem.
  • Menyebut bahwa aku adalah seorang Antichristus. hehehe.

Walaupun fundamentalis, banyak kawanku tetap percaya vaksinasi di Jerman.

***

Kembali ke topik vaksinasi dan ayat 1 Kor 3:16-17. Menurut perhitungan statistik, dibutuhkan 92 hingga 94 persen populasi yang mendapat vaksinasi untuk mendapatkan imunitas bersama atau "Herd immunity" (wiki: en,de). Jadi ada 6 hingga 8 persen yang tidak divaksinasi namun masih bisa terlindungi sesamanya karena "herd immunity". Melindungi sesama dari penyakit yang mematikan adalah salah satu bentuk kasih Kristiani. Hal ini membuat Injil Lukas menjadi relevan, yaitu Luk 10:27.

Bunyi Luk 10:27 adalah sebagai berikut.

  • Dalam bahasa Indonesia, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Terjemahan Baru, Lembaga Alkitab Indonesia)
  • Dalam bahasa Inggris, "Have love for the Lord your God with all your heart and with all your soul and with all your strength and with all your mind; and for your neighbour as for yourself." (Bible in Basic English)
  • Dalam bahasa Jerman, "Du sollst Gott, deinen HERRN, lieben von ganzen Herzen, von ganzer Seele, von allen Kräften und von ganzem Gemüte und deinen Nächsten als dich selbst." (Lutherbibel 1912)

Jadi cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Lindungi dirimu sendiri dan sesamamu dari penyakit mematikan. Marilah vaksinasi dirimu dan keluargamu!


Bremen, 16 Maret 2014

iscab.saptocondro

Tuesday, February 18, 2014

Paper ilmiah

Hari ini, tiba-tiba ingin mengungkapkan unek-unek tentang paper ilmiah. Kegiatanku saat ini memang seputar itu. Aku menjadi mahasiswa (lagi) dan harus membaca banyak paper ilmiah untuk penelitianku. Untuk menulis, aku harus merujuk pada paper ilmiah sebelumnya, supaya kata-kataku berdasar.

Ada suatu kegalauan dalam mencari paper. Studi literatur dimulai dengan pencarian paper. Seseorang peneliti harus tahu kata kunci (keyword) yang akan dicari. Tanpa kunci, percuma aja. Zaman dahulu, berbekal kata kunci ini, seorang peneliti pergi ke perpustakaan lokal, melihat katalog, lalu mencari paper di rak yang sesuai. Zaman sekarang, perpustakaan lebih besar dan virtual. Peneliti memasukkan kata kunci ke Google biasa, Google Scholar, Bing, ScienceDirect, IEEE Xplore, dll. (Aku tahunya segitu doang. Ini pertanda aku kurang gaul). Sesudah itu, mesin pencari (search engine) menunjukkan judul-judul paper berdasarkan kata kunci yang dimasukkan. Lalu paper yang relevan dengan penelitian bisa dipilih.

Memilih paper yang relevan juga penuh seni. Ada biaya yang harus diingat oleh peneliti: waktu dan uang. Di Indonesia dulu, kalau aku menemukan paper di mesin pencari, aku tidak bisa langsung mengunduh. Tempatku bekerja dulu tidak berlangganan jurnal tempat paper berada. Jadinya kalau mau mengunduh, pasti ada biaya sekitar 20 dan 30 US dollar. Hal ini juga masih menjadi masalah di beberapa lembaga penelitian dan universitas di Indonesia zaman sekarang.

Selesai diunduh, paper tersebut dibaca dan ini butuh waktu. Ada teknik baca cepat dan baca dalam. Baca cepat itu untuk memperkirakan apa isi paper dan layakkah kita menghabiskan waktu untuk membaca dalam. Ketika paper tersebut relevan dengan penelitian atau pekerjaan, berarti paper tersebut layak dibaca dalam-dalam, tapi jangan membuang waktu karena penelitian itu ada tenggat (deadline).

Nah, kalau tidak relevan, paper tersebut bernilai 20 atau 30 dollar. Menangislah peneliti di Indonesia kalau harus mengunduh 100 paper. Oh, ya, untuk mendapatkan 3 hingga 5 paper yang relevan, aku perlu mencari antara 40 hingga 100 paper. Ilustrasi dari Jorge Cham di PhD Comics bisa menjelaskan bagaimana itu terjadi: 2002, "References" (sok klik aja!). Sedikit info, dulu sewaktu jadi dosen, dana penelitian yang kuperoleh itu 10 juta per tahun, yaitu sekitar 1100 dollar untuk kurs saat itu.

Peneliti yang berasal dari Indonesia mengakali urusan paper ini dengan membentuk jaringan rahasia di milis, facebook, forum, dll untuk bertukar permohonan paper. Hal ini sangat membantu peneliti di Indonesia. Biaya uang berkurang. Biaya waktu masih ada. Peneliti harus menunggu sehari hingga paper tuntas dikirimkan rekan di milis atau jaringan lain.

Aku teringat beberapa kawan di Bremen, yang studi kelautan, melakukan pengunduhan paper secara sistematis dan gotong royong. Kemudian mereka mengumpulkan paper yang telah diunduh lalu mengorganisasikan dalam folder untuk dimasukkan ke harddisk masing-masing. Lalu kembalilah mereka ke lembaga masing-masing di Indonesia. Hal yang menarik. Tapi riset tidak bekerja seperti itu. Seorang peneliti mencari paper yang relevan dan cenderung yang terbaru. Paper terbaru, dibutuhkan karena peneliti harus membuat sesuatu yang "novel", "original", "filing the gaps", "state-of-the-art", dan istilah lainnya yang mirip.

Cara sapu jagad mengunduh paper seperti yang dilakukan beberapa kawanku tersebut hanya akan menghasilkan sejumlah paper yang teronggok di folder harddisk dan server. Paper-paper tersebut bisa berguna untuk menulis buku, tapi sulit untuk dipakai penelitian berskala internasional. Akan tetapi, seseorang hanya menulis buku kalau topiknya relevan dengan minatnya. Tidak semua paper itu relevan. Selain itu, aku tak yakin mahasiswa-mahasiswi tempat kawanku mengajar akan membaca paper-paper tersebut.

Kembali ke topik. Setelah sukses membaca paper yang relevan, seorang peneliti akan terbebas dari kegalauan studi literatur. Ia pun bisa melanjutkan dalam membuat karya ilmiah. Ia bisa menyusun tulisan: proposal, paper, laporan penelitian, thesis, disertasi, dll. Kegalauan berikutnya adalah urusan teknis penelitian dan urusan menyusun kata demi kata.

Untuk kawan-kawan yang jadi peneliti, kuucapkan "Selamat berurusan dengan paper ilmiah! Darah Juang!"


Bremen, 17 Februari 2014

iscab.saptocondro

Tuesday, July 2, 2013

Left Libertarian

Aku selalu bertanya-tanya apakah ideologi yang kuanut dalam berpolitik. Akupun bertanya, akankah ideologiku akan berubah seiring dengan waktu. Aku merasa bahwa aku berideologi "kiri payun". Aku selalu bergerak ke depan dengan aliran politik kiri. Betulkah "kiri payun" adalah pandangan politik yang kumiliki?

Menurut test political compass, aku menganut aliran politik Left Libertarian. Jadi memang benar aku menganut aliran kiri dalam pandangan politik ekonomi, serta menganut paham kebebasan (libertarian) dalam sosial politik.

Hasil test Political Compass: 60% Libertarian, 60% Left


Aku memiliki kecenderungan untuk menolak fasisme, baik atas nama negara, etnik, agama, dll. Aku juga condong untuk melawan struktur-struktur yang mapan, walau ini lebih banyak berakar dari nihilisme Kejawen daripada anarkisme. Aku memiliki kecenderungan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi, tanpa memandang ketololan idenya, kebodohan agamanya, maupun kata-katanya yang asal bunyi. Jadi pandangan sosial politikku adalah libertarian.

social and economic scale in political ideology


Dalam bidang ekonomi, aku merasa bahwa ketimpangan dan kemiskinan bukan karena takdir Tuhan serta pasar tidak boleh dilepas-tangan oleh otoritas negara atau masyarakat. Ketimpangan ekonomi dan kemiskinan adalah konstruksi masyarakat yang bisa diubah. Pasar bebas harus dikendalikan supaya tidak menciptakan ketimpangan. Dalam memandang ekonomi ini, aku banyak terpengaruh oleh Marxisme, Marhaenisme, Swadesi Gandhi, teologi pembebasan, dan sistem pasar sosial di Uni Eropa dan Skandinavia. Jadi pandangan politik ekonomiku adalah kiri.

Gandhi juga Left Libertarian


Ternyata pandangan politikku mirip Gandhi, Nelson Mandela, dan Dalai Lama.

Dalai Lama dan Nelson Mandela juga Left Libertarian


Ing Ngarso Sosialisme.
Ing Madyo Marhaenisme.
Tut Wuri Berdikari.

Selamat berpolitik!


Bremen, 2 Juli 2013

iscab.saptocondro

Monday, July 1, 2013

Logika bahasa

Dalam suatu kursus bahasa Jerman, guruku pernah berkata bahwa bahasa itu tidak selamanya logis. Memang dalam setiap bahasa ada aturan tertentu yang bersifat logis. Akan tetapi logika dalam berbahasa bukanlah logika Aristotelian, maupun Boolean.

Aku pernah belajar logika Aristotelian sederhana dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka yang lanjut kuliah jurusan hukum, psikologi, dan sosiologi di Indonesia biasanya belajar logika Aristotelian lebih mendalam. Dulu sempat mendengar curhat dosen jurusan hukum dan psikologi, kalau mahasiswa-mahasiswi pernah ikut kuliah ini namun tetap saja mereka tidak bisa membangun argumentasi yang logis pada kuliah-kuliah berikutnya. Bukan hanya itu, hingga mengerjakan tugas akhir atau skripsi, banyak yang tidak logis.

Sebagai orang yang bergerak di bidang teknik, aku tidak terdidik dengan logika Aristotelian (wiki:en,de). Aku lebih banyak belajar logika matematis, berupa logika simbolik. Untuk lebih mendalami logika ini, sebetulnya perlu belajar banyak kalkulus proposisional (wiki:id,en,de) dan teori himpunan (wiki:id,en,de). Untuk bisa jadi sarjana teknik, aku harus menguasai logika Boolean (wiki:id,en,de). Dalam perjalanan hidup dan kuliah teknik, aku juga mendalami logika fuzzy (wiki:id,en,de).

Semua logika yang kupelajari sebetulnya lebih untuk mengerti bagaimana mesin bekerja, bukan bagaimana manusia berpikir. Namun aku banyak belajar dari kawan-kawan dari ilmu sosial dan humaniora mengenai apa saja yang termasuk sesat pikir atau "logical fallacy" (wiki:id,en,de). Hal-hal yang termasuk dalam daftar sesat logika harus dihindari (wiki:en), untuk membangun alur yang logis dalam berpikir dan berbahasa, baik lisan maupun tulisan.

Dalam dunia pemrograman, aku belajar bahasa yang lain, yaitu programming language. Di sini, ada aturan berbahasa dengan baik. Bagaimana menggunakan tanda baca dan spasi dengan benar. Jika ada kesalahan, komputer akan memberikan pesan "error" dan program tidak bisa dikompilasi. Selain itu, kadang ada hal yang tidak salah, namun bisa menimbulkan kerancuan. Untuk ini, komputer hanya memberi peringatan "warning". Seorang programmer yang baik, belajar dari pesan-pesan ini. Programmer akan menghilangkan "error" dan mengurangi "warning" dalam kerjanya.

Dalam berbahasa manusia, aku belajar banyak dari dunia pemrograman. Aku harus mengurangi hal-hal yang sesat secara logika dan yang rancu atau ambigu (wiki:id,en,de). Kemampuan berbahasa secara logis sangat penting dalam dunia sains, karena di sini ilmuwan harus membuat tulisan ilmiah (scientific paper) dan menyusun presentasi serta diskusi di seminar atau konferensi ilmiah. Dalam dunia pers dan jurnalisme, wartawan dan pembawa acara haruslah menjaga alur logika tulisan, siaran radio maupun televisi. Pembawa acara harus membuat diskusi di televisi dan radio tetap dalam kerangka berpikir logis. Wartawan di media cetak dan internet harus menyusun tulisan yang logis dan tidak rancu.

Di zaman pesan pendek ini, banyak sekali tantangan dalam menggunakan bahasa yang logis dan tidak rancu. Kalimat pada SMS, chatting, twitter, dll banyak yang rancu. Bahkan dengan kebangkitan alay (4L4y), berbahasa menjadi tidak mudah. Dalam pesan pendek, aku selalu pusing dengan huruf "g", kadang artinya "gua" (saya), kadang artinya "gak" (kagak/tidak). Aku menghindari penggunaan singkatan, karena itu rancu. PHP bisa artinya Personal Home Page, bisa juga Pemberi Harapan Palsu.

Gambar berikut, menjelaskan pentingnya berbahasa secara logis dan tidak rancu.


Jika menggunakan alur logika dalam satu kalimat, "Bring 6" memiliki arti "Bring 6 eggs".
Jika menggunakan alur logika dalam satu paragraf, "Bring 6" bisa berarti "Bring 6 bottles of milk."
Berbahasalah dengan tidak rancu. Berdiskusilah dengan menghindari sesat pikir (logical fallacy). Maka dunia akan damai dari debat kusir dan kebisingan tidak penting.

Berhubung gambar di atas berisi susu dan telur, tolong jangan siram mukaku dengan air teh!
(contoh kalimat yang tidak logis)


Bremen, 30 Juni 2013

iscab.saptocondro

P.S. Bagaimana bercinta dengan logika, masih kupelajari dan belum selesai. Aku masih mempelajari kebenaran kata- kata Vina Panduwinata "ternyata asmara tidak kenal dengan logika". Jika premis tersebut benar, aku harus mempelajari implikasi logisnnya beserta silogisme apa saja yang bisa tersusun.